Self-Healing: Memahami Diri Sendiri (1)

Ada satu masa ketika saya merasa begitu paham dengan diri sendiri. Namun saat terbentur emosi, rasanya I’m clueless. Terlebih saat sudah menikah dan mempunyai anak, batin harus berbagi antara memahami diri sendiri, memahami anak, dan memahami suami. Kalau emosi tidak bisa direspon dengan baik maka akan sangat mempengaruhi kehidupan di rumah. Kasian anak yang jadi teracuhkan, juga suami yang “dipaksa” untuk mengerti yang sebenernya dia juga ga ngerti. Karena masalah itu ada di diri sendiri. Apalagi kalau emosi itu datang lagi berulang kali. Kesal, kenapa sih datang lagi? bukannya kemarin uda beres?

My wounded inner-child hasn’t healed. Titiknya bukan di luka yang sekarang, tapi luka lalu yang belum sembuh. Hm, perjalanan memahami diri sendiri jadi lebih panjang karena harus melihat kebelakang, mencari memori yang mungkin sudah terlupakan, dan mengurai satu persatu luka untuk disembuhkan. Memang harusnya sebelum nyemplung di dunia parenting, kita harus sudah membereskan luka lalu. Jadi sebelum terlambat, saya ingin benar-benar bisa menyembuhkan luka lalu dan mengajak inner-child saya untuk hidup berdampingan di masa sekarang dengan bahagia. Masalah yang muncul karena inner child yang terluka seringnya akibat pengasuhan orang tua terlebih ibu karena interaksi anak paling banyak adalah dengan ibu. Saya jadi ingat mama saya pernah nanya, “sebel nggak dulu sama mama? apakah ada dendam?”. Saya paham betul mama sangat sayang sama anak-anaknya, beliau melakukan hal yang sangat hebat. Maka dari itu, jawaban yang saya berikan adalah “Nggak kok, ga ada masalah”

After I become a mother, I know a lil bit of what she has gone trough now. Terbatas akses untuk mempelajari ilmu parenting dan hanya mengandalkan diri sendiri. Terlebih beliau juga membawa luka masa lalu dari ibunya yang belum terselesaikan. Ketika saya paham bahwa luka lalu itu diturunkan dari pengasuhan, saya memaafkan dan memaklumi gaya pengasuhan mama. Untuk itu saya ngga mau menurunkannya ke anak-anak saya. Saya sudah berprinsip ambil yang baik-baiknya (meski susah juga wkw mom is superhero and I don’t think I can be like her) tapiiii karena luka lalu saya belum sembuh, ada beberapa gaya pengasuhan yang kurang baik saya turunkan dan juga interaksi dengan suami yang akhir-akhir ini bikin sakit kepala. Saya merasa sangat berat menjadi ibu dan berat sekali menyembuhkan luka lalu. Dulu, pasti mama juga merasakan yang sama, bahkan lebih parah🥺

Saya mencoba untuk berempati dan memahami dengan apa yang mama rasakan waktu mengasuh saya saat itu. Ini adalah langkah awal saya untuk berdamai dengan luka lalu yang saya terima. Kata mama, saya anak yang sangat aktif sampai membuat beliau pusing. Dikasih tau susah, suka hilang entah kemana sejak bisa jalan, berantem sama tetangga, melukai adek. Ditambah mama dulunya pendiam, jadi bisa kubayangkan pusingnya kek apa mengurus saya. Ngga tau apa yang harus dilakukan, ngga ada komunitas ibu-ibu yang support malahan kalau cerita disudutkan ini itu, dan demand dari lingkungan yang mengharuskan anak anteng dan manis.. bikin mama jadi ndak pendiam lagi hehe. Oops sorry mom. Dari sini saya mendapatkan bahwa saya yang sekarang itu dibentuk dengan gaya pengasuhan yang tidak demokratis hehe. Karena saya “berbeda”, menurut mama, dari anak tetangga sekitar yang anteng dan manis, lalu mama yang bingung harus kek mana, akhirnya langkah paling cepat agar ga bingung adalah membuat saya jadi “sama” dengan anak lain. Saya harus anteng dan manis. Dalam perjalanannya, saya tidak pernah anteng dan manis. Awal mula luka-luka itu tercipta disana. Selain itu, komunikasi yang gak pas yang membuat saya ndak bisa memahami dan nerima maksud perkataan mama. Saya ga paham makanya saya terlihat tak nurut, mama frustasi, mama marah. Gitu aja terus. Cara yang paling cepat biar ndak ada marah-marah 3adalah mama menyediakan semuanya yang terbaik untuk saya (juga sebagai balas dendam karena mama ndak diasuh dengan baik oleh mbahuti). Akibatnya, mama jarang mendengarkan saya, intinya pilihan mama yang terbaik. No debate! Hal ini tentunya membentuk diri saya yang sekarang. I’m not good at communicating things. I’m really bad at expressing my feeling to people. I was afraid of being rejected cause it always happens when I’m interacting with mom. The good thing is she provides all good things! On the other hand, it makes me indecisive. I can’t decide quickly and effectively. Seringnya ketika saya menyampaikan apa yang saya rasakan, apa yang saya inginkan.. mama dan papa selalu menyanggah bahwa pilihannya lah yang lebih baik. Memang sih, tapi kadang saya hanya ingin didengarkan apa yang saya rasakan apa yang saya inginkan meski akhirnya pilihan saya tidak diterima. Pada waktu itu saya mikirnya nothing to lose lah, toh pilihan mama-papa juga baik jadi ngikut aja. Tapi saya baru sadar bahwa hal ini membawa dampak yang lebih buruk saat saya berumah tangga. Iya, kerasanya baru sekarang. Yang saya pahami, sebagai orang tua dalam menghadapi anak yang memiliki keinginan yang berbeda adalah tetap memvalidasi perasaannya. It’s okay memiliki keinginan tersebut dan it’s okay kalo mau bersedih karena kita tak bisa mendapatkan yang diinginkan. Lalu, menawarkan kemungkinan dan solusi bagaimana si anak mewujudkan keinginannya. Beda sama mama yang lebih ke memaksa tanpa ada pemahamam ke saya dan mendiskreditkan saya seolah saya gak tau, dan gak kan pernah tau. Ternyata hal ini berkaitan dengan alasan dibalik emosinya saya ke suami. 

Yass akhir-akhir ini saya sering sebel saya suami, sampai nangis sendiri dan bingung kalo dia nanya saya kenapa. Saya bingung menyampaikannya, takut ditolak perasaan saya. Takut dianggap apa yang saya rasakan ndak penting, gitu aja kok sampe nangis sih. Sebenernya saya juga mikir kok masalah gitu aja sampe nangis sih. Namun disaat yang bersamaan saya ngerasa, gak bisa gitu hal ini itu penting, wajar nangis gak apa. Kontradiktif. Setelah saya belajar tentang wouned inner-child, OH! hal ini pasti berkaitan dengan luka lalu saya. Makdegg. Sepertinya cara komunikasi saya dengan orang tua yang membuat saya ngerasa perasaan saya itu ga penting. Setelah berkontemplasi, hal-hal yang membuat saya sedih sama suami adalah kalau kita ngobrol saantai (ga sambil kerja) tapi dia ga liat muka aku, sedih banget lah rasanya. Yang kedua, saat saya mencoba menyampaikan pendapat kenapa saya maunya melakukan ini daripada apa yang dia mau dan saya dibilang ngeyel, ini lebih sakit karena ternyata mama-papa sering banget bilang hal serupa, persis apa yang dibilang suami. Kan maksudnya I wanna tell you in my point of view and I hope you understand or at least give me some time to do it based on my perspective, or if I’m wrong just listen. Misalnya, saya maunya beberes rumah dulu karena pusing lihat rumah berantakan, tapi shanum nangis. Nah mau saya adalah seperti biasanya biarkan saya beberes rumah, shanum diajak main sama ayahnya, lalu rumah beres saya bermain bersama shanum. Namun ada kalanya dia gak mau ngasuh shanum, dan nyuruh beberesnya nanti aja. Kalo saya tetep milih beberes saya ngeyel, yang mungkin waktu itu dia lagi ga bisa pegang shanum, dan aku kekeh mempertahankan keinginanku. Yang ketiga, kalau saya mau melakukan hal yang sederhana seperti cuddling hehe dan dia gak mau hikkss. Lalu dia lebih memilih melakukan hal lain yang menurut saya ga penting dan mendesak, seperti main game. It hurts 😦 Saya masih ga paham, kenapa kalo saya memilih melakukan hal lain dibilang ngeyel tapi dia bisa, dia boleh? Hal-hal seperti ini sering jadi masalah buat aku (buat dia mah engga) Oh mungkin karena sebenernya saya terluka saat itu, saat saya menyampaikan pendapat dan sering disanggah oleh orang tua. Mungkin, saya memang suka ngeyel di beberapa hal karena saya ingin diterima pendapatnya, ingin didengarkan, ingin dianggap bahwa apa yang saya rasakan itu penting. Sekarang, ketika kita ngga bisa mengandalkan orang lain untuk bisa memahami kita, diri sendirilah yang harus kita andalkan.

Untuk luka dari orang tua, saya rasa saya sudah berhasil memaafkannya. Saya sudah tidak reaktif lagi, atau sudah netral ketika berbicara dengan mama dan mama menolak pendapat saya lalu menyampaikan pendapatnya. Saya tidak merasa sedih. I understand clearly her purpose and I just need to listen to her. Atau mungkin juga belum, karena ketika berinteraksi sama suami lalu saya mengalami hal serupa, rasanya masih sakit. Kwkw. Mari kita coba lagi. Semoga Allah al-Hadi memudahkan jalannya, melapangkan hati saya, dan hati orang-orang yang saya cintai.

Bismillah  from now on, I will listen to you, dear me. Your feelings matter. Your opinions matter. If you feel like no one understand you, I will. As to heal ourself, dear me, we must walk through the pain, not under it, not over it, not around it. We must walk straight to it, as on the other side healing is waiting. In sya Allah!

I love my husband anyway, so much ❤

Leave a comment